Kesadaran bukanlah entitas yang bersifat material. Karena itu, tidak bisa dipegang. Tidak bisa difoto ataupun divideo. Tidak bisa didengar. Tidak bisa dikecap. Pendek kata tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Sehingga, sains yang bersifat materialistik memang sudah tidak mampu lagi untuk memahaminya. Tapi, apakah karenanya, entitas kesadaran itu tidak ada? Tentu saja berlebihan kalau ada orang yang berpendapat seperti itu. Sains bukanlah segala-galanya. Terlalu banyak realitas alam semesta yang tidak bisa diungkap dengan sains. Sehingga, menjadi konyol kalau kita memutlakkan sains sebagai satu-satunya ukuran bagi eksistensi segala peristiwa.Yang kalau tidak terukur oleh sains lantas kita katakan sesuatu itu tidak ada.
Kesadaran juga bukanlah energi. Meskipun ia bisa memicu munculnya energi. Atau, setidak-tidaknya menyebabkan energi berdinamika. Misalnya, dengan kesadaran yang kita miliki, kita lantas bisa menggerakkan tangan, kaki, mata, dan seluruh anggota tubuh. Ada energi yang menggerakkan anggota tubuh, berdasar perintah kesadaran. Jika kesadaran kita itu tidak berkehendak, maka energi tubuh kita pun tetap diam alias tidak berdinamika. Energi itu bisa saja berbentuk energi kimia, atau mekanik, atau elektrik, ataupun energi potensial apa pun. Tapi intinya, kesadaran bukanlah energi, dan energi bukanlah kesadaran.
Kesadaran juga bukanlah ruang ataupun waktu. Karena, kedua variabel ini pun bersifat mati. Kesadaran adalah sistem informasi yang memiliki kecerdasan, dan hidup. Saya perlu menegaskan hal ini, karena rupanya masih ada yang terjebak dengan kesimpulan yang kurang tepat, yang menganggap energi itu hidup. Dan bisa memerintah diri sendiri, serta memiliki kehendak, dan tujuan. Saya kira, perlu dilakukan perenungan lebih jernih tentang variabel-variabel alam semesta terkait dengan apa yang disebut sebagai makhluk hidup. Karena keempat variabel itu - materi, energi, ruang & waktu – sampai kapan pun, tidak akan bisa menghasilkan makhluk hidup yang berkehendak dan memiliki kecerdasan. Kecuali diintervensi oleh ‘Sesuatu’ dari luar variabel, yang memiliki Kehendak dan Kecerdasan.
Kalaupun mau dibahas secara saintifik, atau setidak-tidaknya menggunakan terminologi sains, persoalan ruh dan jiwa itu tidak cocok dibahas hanya dengan ilmu Kimia, Fisika, Matematika, dan Biologi yang materialistik. Yang agak sesuai dengan wilayah ruh dan jiwa itu adalah Psikiatri. Tetapi sayangnya oleh sebagian orang yang mengklain dirinya saintis, Psikiatri ini dianggap sebagai ‘sains abal-abal’ alias pseudo science, karena pembahasannya tidak sepenuhnya obyektif, melainkan sudah melibatkan subyektivitas.
Seorang Sahabat saya – Prof Dr dr SuhartonoTaat Putra MS – yang ahli Psycho Neuro Imunology, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan manusia tentang makhluk hidup di masa depan akan menjadi sedemikian kompleksnya. Melebihi kerumitan memahami penciptaan alam semesta yang obyektif. Jika untuk memahami alam semesta kita membutuhkan Astrofisika, Astrokimia, Astromatematika, dan sebagainya, maka untuk memahami manusia itu kita tidak hanya membutuhkan Biokimia, Biofisika, Biologi, dan Biokuantum yang masih di wilayah obyektif, melainkan harus memasuki wilayah yang subyektif. Karena ternyata, seluruh proses yang bersifat Biokimia, Biofisika dan Biokuantum itu hanya merupakan akibat saja dari dinamika ‘sesuatu’ yang sangat subyektif di dalam diri manusia.
Selain Psikiatri, sains modern yang agak mendekati wilayah ruh dan jiwa itu adalah teori informasi. Dimana dewasa ini, peradaban sedang ‘dikuasai’ oleh bidang ini. Materi dan energi tidak lagi menjadi 'aktor utama' dalam ilmu ini. Ia hanya menjadi alat alias media saja. Kalau kita bicara soal handphone misalnya, yang kita bahas tidak lagi bahannya apa. Atau, baterainya apa. Melainkan fitur-fitur informasinya.
Bicara tentang ruh dan jiwa, tidak lagi bicara soal materi dan energi, melaikan bicara soal fitur-fitur informasi yang ada di dalamnya. Karena itu, jangan terjebak pada memahami ruh dan jiwa sebagai entitas energi. Karena energi hanya menjadi media bagi jiwa untuk menyalurkan informasi yang sinyalnya berasal dari ruh.
Ibarat handphone, sistem informasi itu tidak bisa mewujud dengan sendirinya tanpa ada sosok gadget dan tanpa ada energi dari baterai.Tetapi, gadget yang sudah ada baterainya pun tidak akan bisa berfungsi jika tidak ada sistem informasinya. Memang, analogi ini tidak persis betul dengan manusia. Karena, dalam diri manusia, yang disebut kehidupan itu termasuk di dalam ‘fitur’ ruh. Di dalam ruh itu ada beragam sifat ketuhanan ataupun fitur kehidupan yang menghidupkan. Sedangkan pada handphone ‘kehidupan’ itu ada karena baterai.
Kalaupun mau dianalogikan secara lebih baik, energi listrik dan operating system itulah RUH. Software aplikasinya adalah JIWA. Sedangkan sosok gadget adalah TUBUH. Seluruh kendali atas fungsi handphone itu bergantung pada OS (Operating System), termasuk kendali on-off-nya. Tetapi fungsi-fungsi aplikasinya ada pada software aplikasi yang mewakili jiwa. Dimana software itu bisa di-upgrade ataupun di downgrade, sebagaimana jiwa manusia juga bisa dididik menjadi lebih baik ataupun dipengaruhi lingkungan untuk menjadi lebih buruk.
Nah, terkait dengan manusia, kesadaran itu bukanlah di sistem materi dan sistem energinya, melainkan di sistem informasi. Bahkan, masih perlu ditambahkan ‘sistem informasi yang hidup’. Itulah yang telah saya tulis di notes sebelum-sebelumnya – saat membahas ruh sebagai sistem informasi – tetapi rupanya belum tertangkap substansinya. Sehingga, masih ada yang berkutat pada sistem energi yang mati, padahal materi dan energi tak lebih hanya berfungsi sebagai media belaka.
Lebih jauh, sistem informasi ini bukan hanya berhenti di dalam diri manusia, karena sebagaimana telah kita bahas, alam semesta pun memiliki sistem informasi yang cerdas itu. Maka, terkait dengan pembahasan soal kesadaran ini, kita menangkap benang merahnya. Jika sistem informasi terkait dengan kesadaran, maka kesadaran itu sebenarnya tidak hanya berhenti di diri manusia. Melainkan juga dimiliki oleh alam semesta. Dan manusia, ataupun makhluk hidup hanya merupakan bagian saja dari ‘kesadaran semesta’.
Alam semesta adalah sistem informasi yang sangat canggih, ibarat dunia maya alias internet. Segala macam gadget berupa handphone, laptop, desktop, tablet, dan sebagainya adalah terminal-terminal dalam sistem informasi itu. Mereka bisa saling berhubungan lewat sistem informasi yang menjadi backbone dunia maya itu. Apakah sistem informasi dunia maya itu ada dengan sendirinya? Tentu saja tidak. Ada yang mengaturnya. Bahkan ada yang menciptakannya. Sekaligus mengendalikannya.
Sistem yang canggih itu, hanya media saja bagi ‘kecerdasan-kecerdasan’ yang ada di balik sistem materi dan energi yang terlibat di dalam beroperasinya internet. Semua bagian dari sistem itu adalah sesuatu yang mati, dan butuh ‘kecerdasan’ ataupun ‘kesadaran’ sehingga 'menghidupkan' media internet dengan lalu lintas informasi di dalamnya.
Alam semesta ini hanya menjadi media bagi lalu lintasnya informasi dari para pemilik kesadaran dan kecerdasan. Karena, semua variabel penyusun alam semesta ini memang tak lebih dari variabel mati belaka. Seluruh makhluk hidup di alam semesta ini tak lebih hanyalah ‘terminal-terminal’ kesadaran yang menggunakan media berupa ‘badan’ dengan fitur-fitur yang ada di dalam ‘jiwa’nya. Tetapi operating system harus sinkron dan terintegrasi dengan seluruh sistem informasi yang ada. Yang semua itu dikendalikan oleh Sang Pencipta seluruh sistem informasi yang sedang berjalan ini..!
'Perpindahan alam' dari satu gadget ke gadget lainnya, dari handphone ke laptop, ke tablet, ke smart phone, ke BB, ke PC, ke satelit, atau apa pun namanya, dan dimana pun lokasinya, tidak menjadi masalah selama ia sinkron dengan sistem informasi tersebut. Dalam skala kehidupan manusia, pindah dimensi dari alam dunia ke alam barzakh, atau pun ke alam akhirat tidak masalah, semua itu terintegrasi dalam sistem informasi yang memang bisa lintas dimensi sebagaimana telah saya jelaskan di note sebelumnya.
Ringkas kata, seluruh alam semesta sebenarnya adalah sistem informasi terintegrasi yangserver-nya ada di sisi-Nya, sedangkan terminal-terminalnya tersebar di seluruh penjuru alam semesta. Seluruh kejadian di mana pun bakal terekam dan masuk ke server itu, disamping juga terekam oleh terminal-terminal informasi yang saling berinteraksi. Tetapi, yang perlu Anda catat, bahwa semua lalu lintas informasi itu tidak akan terjadi jika tidak ada sosok-sosok ‘berkecerdasan’ dan ‘berkesadaran’ yang berkehendak untuk melakukan komunikasi. Karena sesungguhnya, semua ini cuma manifestasi dari Zat yang Maha Cerdas dan Maha Berkehendak..!
QS. Al An’am (6): 59
Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang terjadi di daratan dan di lautan. Dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya. Dan tidak jatuh sebutir biji pundi dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkansemuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)"
Wallahu a’lam bissawab
Setelah diedit :
Kesadaran
bukanlah entitas yang bersifat material. Karena itu, tidak bisa dipegang. Tidak
bisa difoto ataupun divideo. Tidak bisa didengar. Tidak bisa dikecap. Singkatnya tidak bisa dijangkau oleh panca
indera. Sehingga, sains yang bersifat materialistik memang sudah tidak
mampu lagi untuk memahaminya. Tetapi,
apakah karenanya, entitas kesadaran itu tidak ada? Tentu saja berlebihan jika ada orang yang berpendapat seperti itu.
Sains bukanlah segala-galanya. Terlalu banyak realitas alam semesta yang tidak
bisa diungkap dengan sains. Sehingga, menjadi konyol kalau kita memutlakkan
sains sebagai satu-satunya ukuran bagi eksistensi segala peristiwa. Seandainya tidak terukur oleh sains lantas
kita katakan sesuatu itu tidak ada.
Kesadaran
juga bukanlah energi. Meskipun ia bisa memicu munculnya energi. Atau,
setidak-tidaknya menyebabkan energi berdinamika. Misalnya, dengan kesadaran
yang kita miliki, kita lantas bisa menggerakkan tangan, kaki, mata, dan seluruh
anggota tubuh. Ada energi yang menggerakkan anggota tubuh, berdasar perintah
kesadaran. Jika kesadaran kita itu tidak berkehendak, maka energi tubuh kita
pun tetap diam alias tidak berdinamika. Energi
itu bisa saja berbentuk energi kimia, mekanik, elektrik, ataupun energi
potensial apapun. Intinya, kesadaran bukanlah energi, dan energi bukanlah
kesadaran.
Kesadaran
juga bukanlah ruang ataupun waktu. Karena, kedua variabel ini pun bersifat
mati. Kesadaran adalah sistem informasi yang memiliki kecerdasan, dan hidup. Saya perlu menegaskan hal ini, ternyata
masih ada yang terjebak dengan kesimpulan yang kurang tepat, yang menganggap
energi itu hidup yang bisa memerintah diri sendiri, serta memiliki kehendak,
dan tujuan. Pendapat saya, perlu
dilakukan perenungan lebih jernih tentang variabel-variabel alam semesta
terkait dengan apa yang disebut sebagai makhluk hidup. Karena keempat
variabel itu - materi, energi, ruang & waktu – sampai kapan pun, tidak akan
bisa menghasilkan makhluk hidup yang berkehendak dan memiliki kecerdasan.
Kecuali diintervensi oleh ‘Sesuatu’ dari luar variabel, yang memiliki Kehendak
dan Kecerdasan.
Seandainya dibahas secara saintifik,
atau setidak-tidaknya menggunakan terminologi sains,
persoalan ruh dan jiwa itu tidak cocok dibahas hanya dengan ilmu Kimia, Fisika,
Matematika, dan Biologi yang materialistik.
Mungkin yang sedikit sesuai dengan wilayah ruh dan jiwa itu adalah Psikiatri.
Tetapi sayangnya oleh sebagian orang yang menyatakan dirinya saintis,
Psikiatri ini dianggap sebagai ‘sains abal-abal’ alias pseudo science, karena
pembahasannya tidak sepenuhnya obyektif, melainkan sudah melibatkan
subyektivitas.
Seorang
Sahabat saya – Prof Dr dr SuhartonoTaat Putra MS – yang ahli Psycho Neuro
Imunology, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan manusia tentang makhluk hidup di
masa depan akan menjadi sedemikian kompleksnya. Melebihi kerumitan memahami
penciptaan alam semesta yang obyektif. Jika untuk memahami alam semesta, kita
membutuhkan Astrofisika, Astrokimia, Astromatematika, dan sebagainya, maka
untuk memahami manusia itu kita tidak hanya membutuhkan Biokimia, Biofisika,
Biologi, dan Biokuantum yang masih di wilayah obyektif, melainkan harus
memasuki wilayah yang subyektif. Karena ternyata, seluruh proses yang bersifat
Biokimia, Biofisika dan Biokuantum itu hanya merupakan akibat saja dari
dinamika ‘sesuatu’ yang sangat subyektif di dalam diri manusia.
Selain Psikiatri, sains modern yang sedikit
mendekati wilayah ruh dan jiwa itu adalah teori informasi. Dewasa ini, peradaban sedang ‘dikuasai’
oleh bidang ini. Materi dan energi tidak lagi menjadi 'aktor utama' dalam ilmu
ini. Ia hanya menjadi media saja. Kalau kita bicara soal telepon genggam
misalnya, yang kita bahas tidak lagi bahannya apa. Atau, baterainya apa.
Melainkan fitur-fitur informasinya.
Bicara
tentang ruh dan jiwa, tidak lagi bicara soal materi dan energi, melainkan
bicara soal fitur-fitur informasi yang ada di dalamnya. Karena itu, jangan
terjebak pada memahami ruh dan jiwa sebagai entitas energi. Karena energi hanya
menjadi media bagi jiwa untuk menyalurkan informasi yang sinyalnya berasal dari
ruh.
Ibarat telepon genggam, sistem
informasi itu tidak bisa membentuk wujud dengan sendirinya tanpa ada sosok gadget dan tanpa ada energi dari baterai.Tetapi, gadget yang sudah ada baterainya pun tidak
akan bisa berfungsi jika tidak ada sistem informasinya. Memang, analogi ini
tidak persis betul dengan manusia. Karena, dalam diri manusia, yang disebut
kehidupan itu termasuk di dalam ‘fitur’ ruh. Di dalam ruh itu ada beragam sifat
ketuhanan ataupun fitur kehidupan yang menghidupkan. Sedangkan pada telepon genggam ‘kehidupan’ itu ada karena baterai.
Seandainya dianalogikan secara lebih
baik, energi listrik dan operating
system itulah RUH. Software aplikasinya adalah JIWA. Sedangkan
sosok gadget adalah TUBUH. Seluruh kendali atas
fungsi handphone itu bergantung pada OS (Operating System), termasuk
kendali on-off-nya. Tetapi
fungsi-fungsi aplikasinya ada pada software aplikasi yang mewakili jiwa. Dimana software itu bisa di-upgrade ataupun di downgrade, sebagaimana jiwa manusia juga bisa
dididik menjadi lebih baik ataupun dipengaruhi lingkungan untuk menjadi lebih
buruk.
Nah,
terkait dengan manusia, kesadaran itu bukanlah di sistem materi dan sistem
energinya, melainkan di sistem informasi. Bahkan, masih perlu ditambahkan
‘sistem informasi yang hidup’. Itulah
yang telah saya tulis di catatan sebelum-sebelumnya – saat membahas ruh
sebagai sistem informasi – tetapi ternyata
belum tertangkap substansinya. Sehingga, masih ada yang berkutat pada
sistem energi yang mati, padahal materi dan energi tak lebih hanya berfungsi
sebagai media belaka.
Lebih
jauh, sistem informasi ini bukan hanya berhenti di dalam diri manusia, karena
sebagaimana telah kita bahas, alam semesta pun memiliki sistem informasi yang
cerdas itu. Maka, terkait dengan pembahasan soal kesadaran ini, kita menangkap
benang merahnya. Jika sistem informasi terkait dengan kesadaran, maka kesadaran
itu sebenarnya tidak hanya berhenti di diri manusia. Melainkan juga dimiliki
oleh alam semesta. Dan manusia, ataupun makhluk hidup hanya merupakan bagian
saja dari ‘kesadaran semesta’.
Alam semesta adalah sistem informasi
yang sangat canggih, ibarat dunia maya atau internet.
Segala macam gadget berupa handphone, laptop, desktop,
tablet, dan sebagainya adalah terminal-terminal dalam sistem informasi itu.
Mereka bisa saling berhubungan lewat sistem informasi yang menjadi backbone dunia maya itu. Apakah sistem
informasi dunia maya itu ada dengan sendirinya? Tentu saja tidak. Ada yang
mengaturnya. Bahkan ada yang menciptakannya. Sekaligus mengendalikannya.
Sistem
yang canggih itu, hanya media saja bagi ‘kecerdasan-kecerdasan’ yang ada di
balik sistem materi dan energi yang terlibat di dalam beroperasinya internet.
Semua bagian dari sistem itu adalah sesuatu yang mati, dan butuh ‘kecerdasan’
ataupun ‘kesadaran’ sehingga 'menghidupkan' media internet dengan lalu lintas
informasi di dalamnya.
Alam
semesta ini hanya menjadi media bagi lalu lintasnya informasi dari para pemilik
kesadaran dan kecerdasan. Karena, semua variabel penyusun alam semesta ini
memang tak lebih dari variabel mati belaka. Seluruh makhluk hidup di alam
semesta ini tak lebih hanyalah ‘terminal-terminal’ kesadaran yang menggunakan
media berupa ‘badan’ dengan fitur-fitur yang ada di dalam ‘jiwa’nya. Tetapi operating system harus sinkron dan terintegrasi dengan
seluruh sistem informasi yang ada. Yang semua itu dikendalikan oleh Sang
Pencipta seluruh sistem informasi yang sedang berjalan ini.
'Perpindahan alam' dari satu gadget ke gadget lainnya, dari telepon genggam ke
laptop, ke tablet, ke smartphone, ke BB, ke PC, ke satelit, atau apapun namanya, dan dimana pun
lokasinya, tidak menjadi masalah selama ia sinkron dengan sistem informasi
tersebut. Dalam skala kehidupan manusia, pindah dimensi dari alam dunia ke alam
barzakh, atau pun ke alam akhirat tidak masalah, semua itu terintegrasi dalam sistem informasi yang memang bisa lintas
dimensi sebagaimana telah saya jelaskan di catatan sebelumnya.
Ringkas
kata, seluruh alam semesta sebenarnya adalah sistem informasi terintegrasi yang
server-nya ada di sisi-Nya, sedangkan
terminal-terminalnya tersebar di seluruh penjuru alam semesta. Seluruh kejadian
di mana pun pasti terekam dan masuk ke server itu yang juga terekam oleh
terminal-terminal informasi yang saling berinteraksi. Tetapi, yang perlu
Anda catat, bahwa semua lalu lintas informasi itu tidak akan terjadi jika tidak
ada sosok-sosok ‘berkecerdasan’ dan ‘berkesadaran’ yang berkehendak untuk
melakukan komunikasi. Karena sesungguhnya, semua ini cuma manifestasi dari Zat
yang Maha Cerdas dan Maha Berkehendak.
QS.
Al An’am (6): 59
Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui
apa yang terjadi di daratan dan
di lautan. Dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya.
Dan tidak jatuh sebutir biji pundi
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkansemuanya tertulis di
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)"
Wallahu
a’lam bissawab
Sumber : https://www.facebook.com/notes/agus-mustofa/al-quran-sebagai-sumber-filosofi-bagi-sains-18/10151754605431837
Sumber : https://www.facebook.com/notes/agus-mustofa/al-quran-sebagai-sumber-filosofi-bagi-sains-18/10151754605431837